Majalah Al Itqon

Media Sosial Bisa Bikin Kamu Jadi Pemarah? Ini Fakta Sainsnya

User Rating: 0 / 5

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh : Holid Tantowi Y, M.Pd
Fasilitator IPA

Taukah kamu tujuan adanya media sosial? Nah, sebelum mengetahui tujuannya kalian harus tau dulu definisinya. Sosial berkaitan dengan masyarakat dan manusia adalah makhluk sosial (homo socius) yang tidak bisa hidup sendirian saja. Sedangkan media merupakanperantara atau penghubung.  Media sosial adalah aplikasi yang dijadikan wadah masyarakat untuk berekspersi, berbagi isi atau kegiatan dalam jaringan sosial.

 

Tujuan media sosial adalah sebagaisarana komunikasi yang digunakan masyarakat tanpa ada batas waktu, ruang, atau situasi. Sayangnya, era ini media sosial banyak disalahgunakan. Contohnya, menyebarkan berita bohong (hoaks), gossip, ujaran kebencian bahkan luapan emosi hanya karena salah paham. Secara tidak langsung, hal ini bisa membuat kalian menjadi pemarah. Bagimana jika dilihat dari dunia sains? Yuk, simak bahasan berikut ini!

 1.  Kenapa kamu marah?

 Marah merupakan hal yang normal dilakukan oleh siapa saja yang memiliki rasa emosional.  Hal yang tidak normal jika kamu tidak marah. Menurut Dr. Nadja Heym, dosen jurusan psikologi di Nottingham Trent University, kemarahan adalah intuisi perlindungan saat seseorang terancam bahaya, terpojokkan, atau diprovokasi.Marah ini berhubungan dengan bagian amigdala pada otak. Nah, untuk mengendalikannya otak manusia yang juga diciptakan dengan korteks orbitofrontal yang membantu dalam pengambilan keputusan dan lobus frontal untuk memantau serta mengatur emosi kita. Sayangnya, emosi menjadi tidak terkontrol jika kedua sistem ini mengalami kendala, amarah akan tidak tekendali. Tidak marah seumur hidup? Rasanya mustahil karena itu hal yang manusiawi! Namun, tidak baik jika berlarut-larut tenggelam dalam amarah hingga sakit hati karena bisa meningkatkan risiko amarah melewati batas hingga menjadi perilaku kasar.

 “Adalah hal yang wajar untuk menyalurkan kemarahan Anda sampai batas tertentu, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa intens dan seberapa sering kemarahan tersebut muncul, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar amarah tersebut reda,”papar Heym.

Saat marah, tubuh kita mengalami mekanisme fight or flight. Hal ini membuat jantung menjadi berdebar dan perasaan tidak karuan.Selain itu, Heym mengingatkan bahwa terus-terusan marah tidak baik dan mengingat penyebabnya hal itu juga bukan sebuah solusi.

 2.  Kemarahan yang semakin meningkat

Frekuensi marah dengan meluapkan kemarahan adalah dua hal yang berbeda.Menurut sebuah laporan dari Gallup bertajuk "Gallup 2019 Global Emotions Report" yang mengamati pola emosi sekitar 151 ribu partisipan di 140 negara, ternyata semakin banyak masyarakat yang marah

Terlebih lagi di masa saat ini, di mana internet sudah berkembang begitu pesat. Psikolog sekaligus penulis, Dr. Aaron Balick mengatakan bahwa kemarahan dapat dengan mudah dan cepat "tertularkan" kepada orang lain.

Dulu, orang-orang memegang konsep untuk tidak meluapkan amarah di depan umum karena hal tersebut memalukan. Namun, berbeda dengan masa kini. Sejarawan asal Loyola University Chicago, Profesor Emerita Barbara H. Rosenwein mengatakan bahwa kemarahan sudah digeneralisasikan dan siapa saja berhak meluapkannya.Di sini bisa terlihat bahwa terjadi perubahan nilai moral yang cukup signifikan.Apa pun yang penyebab kemarahanmu, mengekspresikan kemarahan sekarang dianggap sebagai suatu perbuatan yang berani, pernyataan pendapat, dan bentuk superioritas moral. Namun, apakah kemarahan itu selalu produktif? Jika tidak, sudah seharusnya kita mengendalikan amarah kita.

1.  Apakah itu salah media sosial?

Media sosial saat ini dijadikan sebagai wadah atau sarana masyarkat untuk berinteraksi satu sama lainnya.  Hampir semua orang memiliki koneksi internet demi mengikuti perkembangan dunia melalui media sosial. Sayangnya, media sosial memiliki akses yang tidak terbatas. Segala hal (batasan, nilai, dan identitas) dapat diretas oleh siapa saja jika memiliki keamanan yang standar atau bahkan diserang oleh sesama. Contohnya, saat berkomentar atau mengunggah sesuatu, terdapat dua kemungkinan, diterima dengan baik atau malah dirundung.Oleh karena itu, selain menghubungkan umat manusia, media sosial juga membuat orang-orang semakin cepat marah.

“Bisa dikatakan, semua orang tengah merasakan kemarahan yang kronis,” kata Balick.

Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang memainkan media sosial. Orang-orang yang terpapar pada sebuah konten media sosial yang negatif, cenderung sulit untuk menahan kemarahan mereka juga. Namun, apakah media sosial memang dirancang seperti itu?Bagaimana pun juga, sosial media hanyalah sebuah sarana penghubung dari apa yang terjadi di dunia nyata ke masyarakat luas. Berita atau konten pada media sosial hanyalah isi yang menyampaikan informasi dari dunia nyata. Namun, apa yang terkandung di dalam terkadang menyulut emosi para penggunanya.Contoh paling umum adalah di saat topik politik bergabung dengan agama, atau topik di mana kemanusiaan ditelantarkan. Terlebih saat kamu membaca komentar-komentarnya yang terkadang membuatmu mengelus dada.

“Dalam beberapa kasus, [media sosial] dapat menjadi akselerator yang meningkatkan kemarahan, frustrasi, dan perpecahan yang sudah ada,” ujar Balick.

2. Cara umum meluapkan kemarahan di media sosial

Lalu, bagaimana seseorang meluapkan kemarahannya di media sosial? Akses yang tidak terbatas membuat dorongan terhadap setiap orang hingga tidak ada lagi yang namanya rahasia di media sosial. Semua orang bisa mengetahui semua hal tentang identitas satu sama lain.Oleh karena itu, salah satu cara yang paling sering

dilakukan adalah dengan cara membuat akun anonim untuk menutupi identitas dan bisa melupkan amarah dengan bebas. Dalam bukunya yang berjudul "The Psychodynamics Of Social Networking", Balick menjelaskan bahwa anonimitas adalah bagian besar dari meluapkan kemarahan di dunia maya. Menurut penelitiannya, pengguna akun anonim lebih banyak ditemukan di Twitter daripada Facebook.

“Seseorang cenderung lebih mudah meluapkan kemarahan di dunia maya jika memiliki akun anonim," katanya.

Hal ini bukan tanpa sebab karena konsep anonimitas membuat seseorang berpikir bahwa mereka bisa luput dari segala tekanan sosial atau hukuman selama mereka tidak diketahui. Salah satu contoh menarik hubungan anonimitas dan perilaku kasar ditunjukkan dalam eksperimen oleh seorang profesor psikologi bernama Prof. Ed Diener pada 1976.Dalam eksperimennya yang berjudul "Effects of deindividuation variables on stealing among Halloween trick-or-treaters", sebanyak 27 rumah di Seattle membiarkan anak-anak diperbolehkan mengambil uang dan permen dalam perayaan Halloween. Trick or Treat!

Sebelumnya, pemilik rumah meletakan semangkuk penuh permen dan semangkuk penuh uang logam. Mereka mengizinkan anak-anak untuk mengambil satu permen. Lalu, pemilik rumah pura-pura pergi. Sebuah lubang dibuat untuk mengintip anak-anak tersebut.Hasilnya? Dalam penelitian tersebut, sebanyak 1.300 anak mengambil permen dan uang lebih dari yang diharuskan! Dibandingkan dengan yang datang sendiri, mereka yang datang secara bergerombol mencuri lebih banyak.Mengutip eksperimen tersebut, Heym mengatakan bahwa orang yang bergerombol cenderung merasa lebih aman saat meluapkan amarah mereka. Mengapa? Mereka merasa bahwa hal yang mereka lakukan tidak salah karena yang bergerombol pun ikut, menciptakan "false sense of solidarity".Jika diterapkan pada kasus media sosial, saat satu orang "diserang" oleh banyak orang, hal tersebut mendorong orang-orang untuk ikut menjerumuskan. Kembali lagi ke konsep "satu lawan banyak"

Apakah kalian pernah menonton video yang diliput oleh Inside Edition? Video tersebut diunggah oleh Marissa Rundell.Dalam video tersebut, seseorang bernama Susan Peirez pertama kekeh ingin berganti tempat duduk pesawat karena tangisan bayi sambil menunjukkan perilaku superioritas. Namun, saat Tabitha, sang pramugari kesal dan meminta Peirez dikeluarkan dari pesawat, Peirez langsung takut dan memohon untuk tidak dikeluarkan.

“Perubahan sikap yang drastis, ya.”

Rundell mengunggah video ini ke Facebook dan ditonton hingga 2 juta orang, belum lagi saat agensi berita dan berbagai akun YouTube ikut mengunggah videonya.Hasilnya? Peirez yang katanya "bekerja untuk pemerintah" dan memang benar bekerja untuk New York State Council on the Arts, kehilangan pekerjaannya.Kasus ini menunjukkan kekuatan yang menakutkan dari gelombang amarah di media sosial. Satu kicauan atau status yang dinilai salah akan di-retweet atau di-share diikuti dengan status hinaan lalu menjadi viral.Dalam beberapa hari, orang yang bersangkutan sudah dikucilkan, sampai menerima ancaman kematian, atau kehilangan pekerjaan mereka. Dalam kasus ini? Peirez kehilangan pekerjaannya.

 1. Solusi agar tetap tenang di media sosial

Sama seperti berlarut-larut dalam amarah itu tidak baik. Oleh karena itu, lebih baik kamu marah sebentar lalu setelah lega, kembali lanjutkan aktivitasmu.Caranya? Sekali lagi, sama seperti orang yang mengerem mendadak di depanmu, kamu pastinya kesal dan ingin rasanya keluar dan melabrak orang tersebut, kan?Heym mengingatkan, hal tersebut dapat dicegah. Sebelum kamu marah, coba atur napasmu dan lihat kejadian tersebut dari sisi yang lain. Dengan cara ini, kamu menjaga dirimu agar tidak kalap.Tarik napas dalam-dalam, lalu buang. Lakukan hal ini hingga kamu tenang dan barulah kamu bisa mengambil keputusan. Lihat dari sisi yang lain. Mungkin orang tersebut sedang buru-buru?

“Tunggu sebentar, atur pernapasanmu, dan lepaskan dirimu dari rasa frustasi tersebut. Baru, kamu bisa melihat kejadian tersebut dari sisi lain,”tandas Heym.

Secara tidak langsung kamu melatih dirimu untuk peka pada keadaan.Apakah hal tersebut berarti kita harus memendam emosi kita? Tidak! Heym mengingatkan bahwa memendam emosi terlalu lama dan terlalu sering tidak baik untukmu. Jika satu status, foto, Story, atau cuitan membuatmu panas, jangan langsung berkomentar. Kamu bisa menyalurkan amarah tersebut dengan cara lain. Contohnya? Berolahraga atau  pukul bantal lebih baik daripada memukul orang jika memang ingin meluapkan amarahmu

"Lepas kendali hanya merugikanmu saja," tutup Heym. Ingatlah bahwa rundungan dalam bentuk verbal memiliki dampak psikologis yang sama seperti rundungan fisik. Yuk, latih untuk mengendalikan diri lebih baik.

Demikian tulisan ini di buat mudah-mudahan bermanfaat.

Terima kasih

Salam sains Al Itqon.

 Sumber:

https://www.idntimes.com/science/experiment/alfonsus-adi-putra-alfonsus/penjelasan-sains-media-sosial-bisa-bikin-kamu-jadi-pemarah/full/5

Berita Populer