Majalah Al Itqon

Caracter is More

User Rating: 0 / 5

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

“Knowledge is power, but character is more”
By. Qomaruzzaman, M.Ed (Direktur Utama SIT Al Itqon)

Thomas Lickona dalam bukunya “educating for character”, menuliskan dalam catatan awalnya, bahwa Haim Ginott pernah menceritakan seorang guru yang begitu dihormati dalam sebuah masyarakat dan dianugerahi sebagai “guru teladan tahun”. Setelah penghargaan itu diperoleh, dalam perjalanan pulang dari sekolah, beliau melihat dua orang anak laki-laki yang ditulis diatas semen yang masih basah di depan rumahnya. Semakin ia mendakat, ia kemudian dapat membaca tulisan-tulisan anak itu yang mengarah pada kebencian mereka padanya. Kemudian guru terssbut berjalan mendekati kedua anak tersebut dan memarahinya.


Keesokan harinya, kepala sekolah dengan tiba-tiba memanggil guru tersebut ke ruangannya. “ibu Smith”, ujarnya, “sebenarnya saya tidak tahu harus memulainya dari mana, anda adalah guru teladan tahun ini, orang yang menjadi contoh bagi kita semua, seseorang yang mencintai anak-anak, ternyata telah begitu saja menyerang dua diantara anak-anak...!

Ibu Smith kemudian terlihat gelisah, terdiam, dan kemudian mengatakan, “sebenarnya, saya mencintai mereka secara abstrak, bukan secara konkret”. (Thomas Lickona, 2013:xvii).

Tulisan ini  mengingatkan kembali bahwa pendidikan yang baik itu harus bersifat konkret, perilaku nyata dan the role modeling (uswah hasanah), kemudian  menjadi karakter dan budaya. Bukan terjebak pada slogan, moto dan hal-hal yang bersifat abstrak, hal itu karena tidak menyentuh wilayah yang konkret. Itulah proses pendidikan karakter.

Pendidikan karakter melibatkan secara utuh proses pendidikan (holistical education) dalam konteks kehidupan manusia. Karakter tidak bisa dimanipulasi atau dibentuk secara instan atau yang bisa diolimpiadekan. Pengembangan karakter harus menyatu dalam proses pembelajaran yang mendidik dan disadari oleh guru sebagai tujuan pendidikan, dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang transformasional dan bukan instruksional, dan dilandasi pemahaman secara mendalam terhadap perkembangan peserta didik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat, karena ia merupakan sebuah budaya yang dihasilkan dari proses pendidikan dan lingkungan. Oleh karena itu pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa dan mulai dari rumah sampai sekolah.  Periode yang paling sensitif dan menentukan adalah pendidikan dalam keluarga. Pola asuh (parenting style) adalah salah satu faktor yang secara signifikan turut membentuk karakter anak.

Pendidikan pertama dan utama  bagi seorang anak adalah orang tua, orang tualah yang pertama-tama mengajarkan pada anak pengetahuan tentang ke-Esaan Allah SWT, pengalaman tentang pergaulan manusiawi, dan kewajiban mengembangkan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Karena itu proses pendidikan karakter akan terjungkil balik dan kacau jika orang tua menjadi peran pendamping atau piguran dan lembaga sekolah atau institusi lain menjadi pemeran utama dalam proses pembentukan karakter sang anak.

Fenomena saat ini institusi keluarga telah digantikan perannya. Logika masyarakat modern adalah keluarga (baca; ayah dan ibu) sibuk mencari nafkah, mencari materi  untuk membiayai kehidupan masa depan sang anak. Namun mereka telah melupakan perannya sebagai “resi” pemimpin, pembimbing dan konsultan bagi  anaknya. Nilai yang dibangun adalah nilai materialisme, ukurannya adalah material atau kekayaan. Orang tua akan bangga dengan nilai pelajaran yang tinggi, tapi tidak bangga jika anaknya sudah mampu membaca al Quran dan menghafalkannya. Orang tua bangga jika anaknya kaya raya atau terkenal seperti selebritis, padahal secara sadar itu adalah langkah keliru orang tua yang “me-yahudi-kan” anaknya.

Orang tua kurang memahami bahwa nilai-nilai kehidupan, karakter dan akhlak itu harus tertanam dalam model kehidupan pada keluarga, karena hakekatnya keluarga adalah real model (model yang nyata). Bagaimana akan tercipta model dan anutan kalau orang tua tidak membelai kepala sang anak pada saat ia pulang sekolah, menyambutnya bak pahlawan yang baru pulang dari peperangan. Alangkah indahnya perilaku kehidupan keseharian dalam keluarga, misalnya dalam shalat jamaah sang anak yang iqomat, ayah menjadi imamnya, makmumnya seisi rumah, anak, ibu, kakek, nenek dll, setelah itu membaca al Qur’an bersama dan membacakan syirah nabawiyah, menceritakan kehidupan para rosul dan sahabat. Setelah itu diskusikan dan obrolkan  apa yang telah dilakukan seharian tadi. Jika proses itu terbina dalam keluarga anda, maka jadilah keluarga anda “baitu jannati”.

Ruang-ruang inilah yang harus sama-sama di share antara pihak sekolah dengan orang tua. Kewajiban mengajar dan mendidik di sekolah ada ditangan sang guru. Namun ketika di rumah pola pendidikan dan pola asuh menjadi kewajiban orang tua. Karena senyatanya porsi kedekatan dan bimbingan dalam lingkungan keluarga dan persekitaran lebih banyak daripada di sekolah.

Adalah keliru jika orang tua menuntut kualitas pendidikan anak di sekolah jika bimbingan dan pola asuh tidak dibina di rumah. Dan juga tidak bijak jika orang tua sangat menuntut nilai tinggi dengan deretan angka kuantitatif baik, namun akhlak dan karakter anak-anak mereka diabaikan.

Karenanya “knowledge is power, but character is more”, Pengetahuan itu baik namun akhlak itu jauh lebih baik. Bangunan akhlak dan nilai pekerti akan selalu tertanam. Jika sejak dini dan belia nilai kejujuran, tanggung jawab dan kemandirian tertanam maka pada saat melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi atau kehidupan yang lain. Karakter itu akan terus muncul dan menjadi bingkai kehidupannya.

Oleh karena itu pendidikan karakter harus menjadi sebuah gerakan moral yang bersifat holistik dan integral, melibatkan berbagai pihak dan jalur,  berlangsung dalam setting kehidupan alamiah.

 

           

 

 

Berita Populer